Penayangan

Minggu, 02 Oktober 2016

HAKIKAT DARI YANG SAKRAL



Nama  : Asep Saeful Anwar
Nim     : 14530061

HAKIKAT DARI YANG SAKRAL
            Freud, Durkheim, dan Marx, sama-sama menerapkan  pandangan fungsional yang sangat luas terhadap agama. Kemudian muncul tokoh yang bernama Mircae Eliade, yang mengkritik secara keras dan gencar terhadap pandangan fungsionalis ketiga tokoh di atas. Mircea Eliade dilahirkan di Bucharest Rumania Prancis pada 9 Maret 1907 dan wafat pada 22 April 1986. Ia adalah seorang ilmuan lintas budaya yang sangat terkenal. Ia seorang yang berpengetahuan sangat luas dan juga mempunyai talenta dalam karya tulis fiktif serta mengabadikan seluruh hidupnya kepada studi perbandingan agama, yang dia sebut sebagai “Sejarah Agama-agama” (The History of religions). Karya penting Eliade adalah dua buku yang berjudul Pattern in Comparative Religion (1949) menjelaskan fungsi simbol dalam agama dan The Myth of Eternal Return
(1949) yang menerangkan konsep historis, sakralitas waktu dan perbedaan antara agama kuno dengan pemikiran modern. Kemudian, Disertasi doktoralnya yang berjudul Yoga: An Essays on the Origins of Indian Mystical Theology yang dipublikasikan di Prancis pada tahun 1936.
Pondasi seluruh bangunan teori Eliade adalah dua ide dalam bentuk aksioma. Pertama, posisinya yang sangat bersebrangan dengan kaum reduksionis. Eliade sangat yakin terhadap keindependenan atau keotonoman agama yang menurutnya tidak hanyadiartikan sebagai produks “realitas yang lain”. Tetapi, agama harus diposisikan sebagai sesuatu yang konstan (variabel independen). Sedangkan aspek-aspek kehidupan yang lainnya, seperti sosial, psikkologi, dan ekonomi, mesti tergantung kepada agama. Sebagai satu elemen dalam kehidupan manusia, fungsi agama harus dilihat sebagi “sebab” ketimbang “akibat”. Kedua, metode yang dipakai, yaitu metode fenomenologi. Metode ini memahami agama dengan studi komparasi tentang bentuk sesuatu atau penampakan yang dimunculkan sesuatu itu kepada kita. Sesungguhnya setiap bentuk umum dan setiap pola-pola fenomena yang beranekaragam dari satu agama bisa ditarik keluar dari tempat dan waktu dimana dia berasal, sehingga bisa dibandingkan dengan agama lain. Tempat dan waktunya mungkin bisa berbeda, tapi konsep didalamnya selalu sama.
Yang profan adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal-hal yang dilakukan secara teratur, acak dan sebenarnya tidak terlalu penting. Sedangkan yang sakral adalah wilayah yang supranatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah dilupakan dan sangat penting. Yang profan itu mudah hilang dan terlupakan, tapi yang sakral itu abadi, penuh substansi, dan realitas. Menurut Durkheim, yang sakral adalah masalah sosial yang berkaitan dengan individu, sedangkan yang profan adalah segala sesuatu yang hanya berkaitan dengan urusan-urusan individu. Sedangkan Eliade ketika berbica yang sakral menganggap bahwa kepercayaan ini tidak seperti yang dipikirkan Durkheim. Dalam pandangannya, fokus perhatian agama adalah yang supranatural, sifatnya mudah dimengerti dan sangat sederhana. Agama terpusat pada dan dari yang sakral, bukan hanya menggambarkan agama seperti yang dilihat oleh kacamata sosial. Walaupun Eliade menggunakan bahasa yang berasal dari Durkheim dan dia sepakat bahwa istilah yang sakral itu lebih baik dari istilah-istilah lain dalam bentuk Tuhan personal, tapi pandangannya tentang agama lebih dekat kepada Tylor dan Frazer yang lebih dahulu mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.
Rudolf Otto (Jerman) adalah seorang ilmuan, ahli teologi dan sejarah agama. Ia adalah pembimbing Eliade. Di tahun 1916 ia mempublikasikan karyanya yang sangat terkenal yang berjudul The Idea of Holy (versi Jerman: Das Heillege). Dalam buku ini, Otto juga mempergunakan konsep yang sakral, tapi tidak diterapkan dalam konteks sosial. Menurutnya, manusa sangat terpukau oleh satu realitas yang sama sekali berbeda dengan diri mereka sendiri, yaitu sesuatu yang misterius, mengagumkan, dahsyat, dan sangat indah.  Hal itu adalah pengalaman tentang “Yang Suci” (The Holy), satu perjumpaan dengan yang sakral. Konsep Eliade yang sakral sangat dipengaruhi oleh kensep Otto. Eliade mengatakan bahwa dalam perjumpaan yang sakral, seseorang merasa disentuh oleh sesuatu yang nir-duniawi.
 Dalam buku The Sacred and The Profane, Eliade menggunakan contoh-contoh dari berbagai kebudayaan untuk menunjukkan bagaimana masyarakat tradisional dalam menerapkan model-model ilahiah. Otoritas yang sakral mengatur semua kehidupan. Misalnya dalam membangun perkampungan baru. Biasanya titik pusat yang sakral dari kosmos ini ditandai dengan sebuah pancang, tiang, atau benda-benda lain yang menancap ke tanah dan menjulang ke langit. Kemudian bukunya yang berjudul Paterns in Comparative Religion. Paterns adalah sebuah buku yang memuat penjelasan panjang lebar dan eksplorasi mendalam dari simbol-simbol religius. Buku ini mencoba memaparkan asal-usul pemikiran tentang simbol, apa itu simbol, bagaimana cara kerjanya, dan kenapa masyarakat arkhais mempergunakan simbol tersebut.
Ingin keluar dari sejarah dan selalu berada dalam yang sakral, Eliade mengistilahkan ini dengan “nostalgia surga firdaus”. Konsep ini tertuang dalam karyanya sebuah buku yang berjudul The Myth of the EtenalReturn: Or, Cosmos and History. Para kritikus dan Eliade sendiri mengangap buku ini adalah karya yang sangat penting. Dalam buku ini dia mengajukan tesis hebat, yaitu bahwa semua pemikiran masyarakat arkhais merupakan dorongan untuk mengakhiri sejarah, yakni seluruh sejarah dan ingin kembali pada satu titik nir-waktu ketika seisi dunia mulai diciptakan. Eliade berpendapat bahwa kita harus memperhatikan motivasi apa yang ada di balik mitos “kembali” (return) ini. Dia menjelaskan bahwa masyarakat arkhais, seperti masyarakat lain, tidak hanya dipengaruhi oleh misteri kematian, tapi juga meyakini kehidupan ini tidak punya tujuan dan arti sama sekali. Mereka menginginkan sesuatu yang punya arti, kekal, indah dan sempurna. Sebagaimana mereka juga ingin lari dari ketakutan.

  
sumber: Danilel L. Pals, “Hakikat Yang Sakral” dalam, seven theories of religion, h. 225-280.


 

KEBUDAYAAN, AGAMA, DAN MASYARAKAT



Nama  : Asep Saeful Anwar
Nim     : 14530061
Makul : Sosiologi Dan Antropologi Agama
Kelas   : B
Dosen Pengampu : Ahmad Salehudin, S.Th.I., M.A

TUGAS MINGGUAN KE-1
KEBUDAYAAN, AGAMA, DAN MASYARAKAT
            Setiap masyarakat manusia adalah suatu usaha pembangunan dunia. Masyarakat adalah suatu fenomena dialektik, yakni masyarakat adalah suatu produk manusia yang akan selalu memberi tindak-balik kepada produsernya. Proses dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga momentum, yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, masyarakat adalah produk manusia. Melalui obyektivasi, masyarakat menjadi suatu realitas sui generis, unik. Melalui internalisasi, manusia adalah produk masyarakat. Masyarakat tidak hanya merupakan hasil dari kebudayaan, tetapi merupakan kondisi yang diharuskan bagi kebudayaan itu. Masyarakat adalah produk dari manusia, berakar dalam fenomena eksternalisasi yang pada gilirannya didasarkan pada konstruksi biologis manusia itu. Eksistensi manusia itu pada pokoknya dan akhirnya adalah aktivitas yang mengeksternalisasi.
            Pemahaman tentang antropologi selalu mengalami perubahan. Antropologi bermula pada abad XIX sebagai penelitian terhadap asal usul manusia. Para antropolog dan intelektual awal yaitu abad XIX adalah evolusionis. Durkheim mengkritik definisi-definisi agama lain yang mendefinisikkan agama sebagai keyakinan pada supranatural atau keyakinan pada Tuhan atau Zat yang spiritual. Menurut Durkheim, definisi agama adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan suatu yang sacred, yakni segala sesuatu yang terasingkan dan terlarang. Malinowski adalah seorang fungsionalis. Menurut dia fungsionalis adalah gagasan bahwa masyarakat dilihat sebagai suatu totalitas fungsional, seluruh adat ebiasaan, dan praktik harus difahami dalam totalitas konteksnya dan dijelaskan dengan melihat funfsinya bagi anggota masyaraat tersebut. Malinowski menjelaskan agama dan ilmu melalui teori fungsionalis tentang kebutuhan manusia. Dalam pandangan funsionalisme struktural, agama dilihat sebagai perekat masyarakat, agama dianalisis guna menunjukkan bagaimana agama berkontribusi dalam mempertahankan struktur sosial atau suatu kelompok.
            Pendekatan sosiologis adalah interaksi antara agama dan masyarakat. Aguste Comte dan Henri Saint-Simon dianggap sebagai pendiri sosiologi. Dalam tradisi sosiologi Prancis yang tengah berkembang disamping Comte, Emile Durkheim juga menawarkan ulasan evolusioner tentang masyarakat manusia. Fokus sosiologi agama Durkheim adalah fungsi yang dimainkan agama dalam menjembatani ketegangan dan dalam menghasilkan solidaritas sosial. Karya Durkheim memiliki pengaruh besar terhadap sosiologi agama yang dapat dilihat melalui versi-versi tertentu dari tesis sekularisasi, dalam pendekatan Robert Bellah terhadap agama sipil dan nilai-nilai moral di Amerika Utara kontemporer dan dalam karya Bryan Wilson yang membahas mengenai fungsi agama. Karl Marx seperti juga Durkheim menganggap agama sebagai produk sosial dan sebagai agen keteraturan sosial dalam masyarakat pramodern. Penggagas perspektif interaksionis dalam sosiologi dan studi-studi agama adalah seorang sosiolog Jerman, Max Weber. Ia berpendapat bahwa agama bukan semata-mata produk sosial, atau sekedar sebagai wujud kemampuan manusia untuk menciptakan masyarakat, melainkan lebih merupakan sumber ide dan praktik yang mentransendenkan dunia sosial yang imanen dan oleh karena itu, dapat menimbulkan akibat terhadap dunia sosial dengan cara independen dan tidak dapat diramalkan.
            Karakteristik dasar pendekatan sosiologis meliputi empat hal, yaitu:
1.        Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas
2.        Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga masa kanak-kanak, dan usia.
3.        Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran, dan birokrasi.
4.        Proses sosial, seperti formasi batas, relasi inter group, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi. 

 sumber:

1.      Berger, 1991, Langit Suci, h. 3-35.
2.      Peter Canoly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, h. 15-59 dan 271-313.

 

ANIMISME DAN MAGIS E.B TYLOR DAN J.G. FRAZER



Nama   : Asep Saeful Anwar
Nim     : 14530061

ANIMISME DAN MAGIS E.B TYLOR DAN J.G. FRAZER
Dalam materi kali ini membahas dua tokoh sekaligus, yaitu Edwar Burnett Tylor (1832-1917) dan James George Frazer (1854-1941). Tylor dilahirkan di London Inggris pada tahun 1832. Sedangkan Frazer dilahirkan di Glasgow, Skotlandia pada hari tahun baru 1854. Tylor adalah gurunya Frazer. Frazer mengambil metode dan ide-ide utama gurunya sembari menambahkan beberapa sentuhan baru yang murni berasal dari idenya sendiri. Frazer lebih sering dihubungkan dengan apa yang disebut teori “Magis” tentang agama daripada animismenya Tylor. Karya Tylor yang paling tekenal dan yang paling penting adalah sebuah buku yang berjudul Primitive Culture (1871). Buku ini mengetengahkan teori Tylor tentang animisme secara definitif. Tylor menerapkan trend baru dalam penelitiannya, yaitu “etnografi” dan “etnologi”. Etnologi mengasumsikan bahwa semua bentuk kebudayaan dan masyarakat yang terorganisir harus dilihat sebagai satu keseluruhan, yakni sebagai suatu sistem kompleks yang membentuk pengetahuan dan kepercayaan, seni dan moral, perkakas dan teknologi, bahasa, hukum, adat istiadat, legenda, mitos dan seluruh komponen lainnya yang pada akhirnya membentuk satu keatuan yang utuh. Menurut Tylor ada dua hukum besar tentang budaya, yaitu: (1) prinsip kesatuan atau keseragaman fisik seluruh ras manusia, dan (2) pola evolusi intelektual atau perkembangannya dalam jangka waktu tertentu. Salah satu tujuan utama dari buku Primitive Culture adalah ingin memperlihatkan pendekatan baru yang diusung Tylor, yaitu walau tanpa bekal pengetahuan bahasa yang memadai, mempelajari satu kebudayaan dengan melihat kedalam segala aspeknya, kemudian mengeksplorasi seluruh tindak-tanduk masyarakat, ide dan adat kebiasaan mereka, maka lebih baik daripada mereka yang hanya mencari akar kata dan mendasarkan diri pada analogi.
Magis didasarkan pada gabungan ide-ide, satu kecenderungan yang terletak di dasar rasio manusia. Mitos lahir dari gabungan ide-ide yang logis. Menurut Tylor, definisi agama adalah sebagai keyakinan terhadap sesuatu yang supranatural. Esensi setiap agama adalah animisme. Animisme adalah bentuk pemikiran paling tua yang dapat ditemukan dalam setiap sejarah umat manusia. Dalam terminologi animistik, semua ajaran ini bisa difahami sebagai proses berlanjutnya kehidupan jiwa setelah kematian. Hampir dalam seluruh bagian volume kedua buku Primitive Culture ini, Tylor menggambarkan dengan detail bagaimana jauhnya jangkauan doktrin animisme ke dalam peradaban manusia dulu kala. Animisme adalah suatu kesalahan fatal, sebagaimana dibuktikan peneliti modern bahwa dunia tidaklah digerakan oleh roh-roh yang tidak terlihat. Di era modern, perkembangan agama, mitos dan magis telah diuji oleh sains. Agama, mitos dan magis kini dalam keadaan sekarat, baik dalam kandungan ajarannya maupun dalam jumlah dan proporsinya. Teori Tylor memberikan gambaran beragam tentang agama dan perkembangannya. Tylor berpendapat bahwa agama animistik sebagai suatu usaha masyarakat kuno untuk memahami dan merespons misteri dan peristiwa yang luar biasa memiliki kesamaan dengan sains pada zaman sekarang.
Flazer adalah seorang penganut ide dan metode-metode yang diterapkan Tylor. Dia sangat terpengaruh oleh teori Tylor tentang kemampuan bertahan hidup. Karyanya yang paling terkenal adalah The Golden Bough (1890-1915), yang memuat sebuah studi monumental tentang adat dan kepercayaan primitif. Buku ini merupakan sumber paling definitif mengenai sifat-sifat dan dasar agama. Buku ini pada tahun-tahun pertama abad ke-20 mempengaruhi hampir seluruh bidang pemikiran modern, mulai dari antropologi dan sejarah, sastra, filafat, soiologi, bahkan juga ilmu-ilmu alam. Menurut Frazer, pemahaman tentang magis dan agama serta hubungan yang terjadi keduanya merupakan kunci untuk masuk kedalam pemikiran masyarakat primitif. Magis itu dibangun berdasarkan asumsi bahwa ketika satu ritual atau perbuatan dilakukan secara cepat, maka akibat yang akan dimunculkannya juga pasti akan terwujud seperti yang diharapkan. Di saat magis telah mengalami kemunduran, agama datang menggantikan posisinya. Bagi Frazer, kepercayaan terhadap kekuatan supranatural dan usaha-usaha manusia untuk memperoleh pertolongan-Nya dengan cara berdo’a atau melakukan ritual-ritual lain, telah membebaskan manusia dari belenggu keyakinan magis dan membawanya kepada keyakinan keagamaan. Agama telah memperbaiki magis yang mencirikan kemajuan intelektual manusia. Alasannya adalah karena penjelaan yang diberikan agama tentang dunia yang seperti kita alami lebih baik daripada yang diberikan magis.
            Tema sentral dalam pemikiran Tylor dan Frazer ada tiga, yaitu (1) ilmu pengetahuan dan antropologi, (2) proses evolusi dan masalah asal-usul, dan (3) intelektualisme dan individualisme. Ada kritikan dan keragu-raguan yang ditujuan kepada Tylor dan Frazer, diantranya oleh Max Muller tentang tiga hal, yaitu (1) metode antropologi, (2) evoluionisme, dan (3) individu dan sosial.

sumber: Daniel L. Pals, " Animisme dan Magis EB Tylor dan JG Frazer," dalam,
seven theories . . h . 29-80.